Mengenal Upacara Kutukan: Upacara Tradisi dari Dusun Blubuk, Sendangsari
Oleh Raden Andika Gigih Setya Yudha
Mbah Niti selaku juru kunci Petilasan Sunan Geseng dan budayawan Upacara Kutukan
Upacara “Kutukan”,
merupakan tradisi yang rutin diadakan setiap tahun oleh masyarakat dusun
Blubuk, Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo. Upacara tersebut konon menurut
warga sekitar telah berlangsung secara turun-temurun selama ratusan tahun.
Hingga kini masih belum diketahui secara pasti tentang siapa yang menggagas dan
menciptakan tradisi tersebut, akan tetapi menurut warga sekitar tradisi ini
masih sangat erat kaitannya dengan cerita Sunan Geseng yang telah lama
berkembang dan hidup di masyarakat Blubuk.
Sunan Geseng, atau
sering pula disebut Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo, adalah murid Sunan
Kalijaga. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Cokrojoyo karena
begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan punggungnya menjadi hangus
(geseng). Menurut cerita yang beredar di masyarakat sekitar, konon Sunan Geseng
diangkat sebagai salah satu sunan ketika beliau melakukan pertapaan di wilayah
Dusun Blubuk ditempat yang kini akrab disebut Petilasan Sunan Geseng.
Mbah R. Niti
Diharjo, selaku salah seorang budayawan sekaligus juru kunci Petilasan Sunan
Geseng, mengungkapkan bahwa tradisi Upacara Kutukan dinamai dari jenis ikan
kutuk (sejenis ikan gabus) yang dipercaya merupakan ikan yang digemari oleh
Sunan Geseng dan memiliki banyak manfaat.
Menurut
penuturannya Upacara Kutukan dimulai dari peristiwa diangkatnya Cokrojoyo
menjadi Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga. Kala itu Cokrojoyo sengaja menyusul
Sunan Kalijaga di wilayah Blubuk untuk berguru dan ikut dengannya. Kemudian,
untuk mengujinya Sunan Kalijaga meminta Cokrojoyo untuk duduk di salah satu
batu dan tidak kemana-mana sampai dia kembali, dimana batu inilah yang kemudian
dikenal sebagai Petilasan Sunan Geseng yang terletak di Dusun Blubuk,
Sendangsari. Singkat cerita, Sunan Kalijaga kemudian meneruskan perjalanannya,
hingga pada suatu waktu ia melihat sumur dengan banyak ikan kutuk di dalamnya.
Melihat banyaknya ikan kesukaan Cokrojoyo tersebut maka teringatlah Sunan
Kalijaga kepadanya. Segera Sunan Kalijaga pergi kembali untuk menemui
Cokrojoyo. Tetapi ketika telah sampai di tempat tersebut, ternyata wilayah itu
telah ditumbuhi oleh banyak tanaman liar. Kemudian Sunan Kalijaga berusaha
untuk mencari dan memanggil Cokrojoyo tetapi tidak ada jawaban. Kemudian Sunan
Kalijaga memutuskan untuk membakar tanaman liar di wilayah tersebut. Ketika api
mulai padam, terlihatlah sosok Cokrojoyo yang punggungnya gosong akibat
terbakar api. Kemudian, untuk
menyembuhkan luka bakar di punggungnya maka Sunan Kalijaga meminta kepada
Cokrojoyo untuk memakan ikan kutuk kegemarannya. Melihat kesungguhan dan kemampuan
Cokrojoyo tersebut, maka Sunan Kalijaga mengangkat Cokrojoyo untuk menjadi
Sunan yang terakhir, yaitu Sunan Geseng atau Sunan Gosong karena punggungnya
terbakar oleh api tersebut.
Dari cerita
tersebut, masyarakat kemudian menganggap ikan kutuk tersebut sebagai ikan yang
suci dan memiliki manfaat. Sehingga, ikan kutuk tersebut dijadikan lambang
untuk meminta berkah dan manfaat bagi warga Blubuk setiap tahun dalam Upacara
Kutukan (Diharjo).
Pada saat ini
Upacara Kutukan dilakukan setiap tahun sekali, yaitu pada malam Jumat Wage
(hari Kamis Pon) pascapanen bulan penghujan. Upacara tersebut tersebut kini
dimaksudkan sebagai lambang syukur atas rahmat berupa hasil panen yang
melimpah. Selain itu, juga sebagai lambang untuk meminta berkah dan keselamatan
kepada Tuhan. Dalam prosesinya, Upacara Kutukan memiliki 3 acara inti. Yaitu
adalah pembacaan riwayat terciptanya dusun Blubuk dan Sunan Geseng, kemudian
adalah tahlilan bersama, serta ditutup dengan makan bersama. Adapun makanan
yang dimakan adalah pepes ikan kutuk, sego
ambeg (nasi tumbuk), serta ingkung ayam sebagai hidangan utama yang
dipercaya sebagai simbol untuk membawa berkah dan keselamatan. Namun, beberapa
tahun belakangan Upacara Kutukan diselenggarakan dengan cara yang lebih meriah.
Terhitung setidaknya semenjak lima tahun ke belakang, kegiatan Kutukan bukan
hanya dilakukan dengan bertahlil dan makan bersama. Akan tetapi, beberapa
kegiatan lain seperti kirab bregada serta kirab gunungan dan hasil bumi juga
turut diadakan. Hal ini disebabkan adanya bantuan dana dari pemerintah daerah
serta adanya keinginan pemerintah supaya kegiatan Kutukan ini dapat semakin
dikenali dan berlangsung semakin meriah.
Menurut Bapak
Untung, selaku budayawan lokal, mengatakan bahwa sebelum berlangsung meriah
seperti sekarang, Kutukan sempat hanya berlangsung secara kecil-kecilan karena
takut ditentang masyarakat kala itu. Beliau bercerita bahwa para pelaku budaya
Kutukan pernah takut untuk menjalankan upacara secara besar-besaran. Hal ini
diungkapkan karena pada masa tersebut banyak masyarakat yang terpengaruh ajaran
islam radikal kala itu. Sehingga, banyak dari mereka mereka takut bahwa budaya
Kutukan ini akan mendapatkan tentangan dari masyarakat serta mengaggap budaya
ini merupakan sebuah bid’ah dan musyrik. Oleh dasar ketakutan tersebut, maka
dalam beberapa waktu upacara ini hanya diadakan secara sederhana dan dihadiri
oleh keluarga juru kunci Petilasan Sunan Geseng.
Kini setelah
berbagai rintangan yang ada, budaya Kutukan mulai lebih diangkat oleh
pemerintah dan Dinas Kebudayaan Kulon Progo. Hal ini terlihat bahwa adanya
suntikan dana beberapa kali yang membuat Upacara Kutukan dapat dilangsungkan
secara lebih meriah. Selain itu, dalam rangka pengenalan dan pelestarian Budaya
Kutukan, Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo pernah mengangkat budaya
tersebut ke dalam festival upacara adat tingkat DIY 2019 yang diselenggarakan
oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta di Gunung Kidul. Dalam
perlombaan tersebut, Upacara Kutukan tercatat mampu memperoleh posisi unggulan
ke-III tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kini di tengah
situasi Pandemi Covid-19, Upacara Kutukan masih tetap diadakan walaupun secara
sederhana. Hal tersebut dilakukan karena budaya Kutukan telah hidup dan
berkembang di masyarakat. Sehingga walaupun dalam situasi pandemi banyak warga
yang meminta acara ini tetap diadakan secara sederhana. Hal ini menurut bapak
Untung disebabkan adanya rasa tidak nyaman karena kebiasaan tersebut telah
berlangsung sekian lama. Sehinga, bila dilakukan maka warga akan merasa tidak
tenang. Walaupun, bila dipahami lebih lanjut hal ini hanyalah merupakan
sekumpulan nilai moral yang telah berkembang di masyarakat sekitar (Untung).
Namun, terlepas dari berbgai situasi yang berkembang, Upacara Kutukan merupakan
salah satu tradisi yang bernilai luhur. Sehingga perlu untuk tetap dilestarikan
oleh seluruh masyarakat di wilayah Kulon Progo.
Daftar Pustaka
Diharjo, R. Niti. 2021. “Sejarah dan
Tata Cara Upacara Kutukan”. Hasil Wawancara Pribadi: 07 Juni 2021, Yogyakarta.
Untung. 2021. “Perkembangan Tradisi
Upacara Kutukan.” Hasil Wawancara Pribadi: 08 Juni 2021, Yogyakarta.
Adminbud. “Kulon Progo Naik Peringkat
di Festival Upacara Adat DIY”. disbud.kulonprogokab.go.id.
www.disbud.kulonprogokab.go.id/detil/258/kulon-progo-naik-peringkat-di-festival-upacara-adat-diy/
(diaksen 08 Juni 2021)
Posting Komentar untuk "Mengenal Upacara Kutukan: Upacara Tradisi dari Dusun Blubuk, Sendangsari"