Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SENTOLO : PENYEBERANGAN SUNGAI PROGO DAN PUSAT PEMERINTAHAN KOLONIAL



Nama Sentolo secara toponimi disebutkan oleh sumber lisan berasal dari keberadaan pohon ‘Sentul (Kecapi) dan Elo (Kepuh)’ yang merupakan nama-nama pohon tua di Pulau Jawa.[1]  Dalam beberapa sajian topografis diketahui bahwa nama daerah Sentolo mulai terlihat dalam peta-peta kolonial abad ke-19.[2] Secara urut, daerah Sentolo awalnya merupakan titik penting penyeberangan sungai di wilayah Mataram sebelum abad ke-19 yang menghubungkan wilayah timur Sungai Progo dengan wilayah barat Sungai Progo. Wilayah barat Sungai Progo yang dimaksud adalah beberapa pusat desa di Mataram Krajan dan Mataram Gading, Bagelen, serta Banyumas. Di Sentolo juga terdapat sebuah dusun tua sebelum abad ke-19 yaitu Jelegong (Jlegong) yang menurut  Peter Carey (2008)  sebagai pemukiman keturunan Gladak Tuwa Buru[3] sejak masa Kesultanan Mataram. Meskipun Jelegong awalnya lebih terkenal di Mataram dibandingkan dengan nama 'Sentolo Tali Tambang', namun nama Jelegong kemudian perlahan mulai tenggelam dengan ketenaran nama Sentolo yang pada abad ke-19. Desa kecil tersebut memiliki fungsi penting sebagai penyeberangan ‘satang’ atau ‘rakit kayu’ paling ramai di sepanjang Sungai Progo. Dengan itu, maka daerah Sentolo kemudian menjadi terkenal di wilayah Jawa tengah bagian selatan, terutama abad ke-19. 

            Beberapa fakta sejarah yang mengangkat wilayah Sentolo pada abad ke-18 sampai abad ke-19 adalah wilayah Sentolo sebagai transit penyeberangan gerobak-gerobak pengangkut beras dan candu —lazim disebut sebagai nambangan yang dilengkapi oleh koplakan (terminal dokar)— yang menghubungkan Dukoh (Sentolo) dengan Gise (Bantul).[4] Pasca Perang Jawa atau tepatnya tahun 1833, penyeberangan satang di Sentolo tersebut kemudian dilengkapi dengan jembatan kayu dan bambu sederhana. Pada perkembangannya, kawasan penyeberangan di Sentolo semakin ramai dan sangat rawan dengan kriminalitas sehingga oleh pemerintah kolonial pada tahun 1861 diletakkan beberapa serdadu di pos detasemen militer.[5]  Secara administratif, pada perempat pertama abad ke-19  Sentolo telah menjadi wilayah kadistrikan yang dipimpin oleh  Kepala Distrik Tali Tambang seperti Pangeran Mangkudiningrat II.[6] Sejak saat itu, Sentolo menjadi pusat penting kadistrikan yang berpusat di beberapa desa seperti Sentolo, Bantar, dan Kalibondol.  Hal itu terlihat ketika beberapa desa tersebut di atas, seperti Sentolo dan Kalibondol mulai digunakan sebagai pusat ibu kota administratif dari kadistrikan yang berubah menjadi kadipaten (kabupaten) pada tahun 1845. Pada tahun tersebut, Kabupaten Sentolo dipimpin oleh seorang bupati bernama Raden Tumenggung Wongsodirjo (menjabat 1845-1846). Daerah Sentolo dan Kalibondol kemudian semakin berkembang ketika ibu kota Kabupaten (afdeling) Kulon Progo di Distrik Pengasih dipindah ke Distrik Sentolo pada tahun 1933. Pada masa itu, Bupati Kulon Progo dijabat oleh Raden Rio Harjodiprojo (menjabat 1901-1903).[7]

Pada tahun 1884-1901, Kabupaten Sentolo memiliki 15 distrik yaitu Bantar, Djelaban, Sentolo, Kalibondol, Djlegong-Methajan, Djegong-Karangwetan, Worawari, Sokapontjo, Kentheng, Mahesan, Nglendai (Nglendah?), Toebin, Karangasem, dan Wonolopo, Gegoeloe.[8] Dari pemaparan di atas dapat diterangkan bahwa Sentolo dan Kalibondol merupakan distrik utama yang berada di titik pusat Kabupaten Kulon Progo pasca-tahun 1933. Sentolo merupakan daerah kedistrikan atau setingkat kawedanan  yang memiliki peran penting selain pusat kota administratif lainnya di barat Sungai Progo, baik seperti Bendungan maupun Wates yang menjadi ibu kota Kabupaten Adikarto. 

            Peran Sentolo  sebagai daerah administratif kedistrikan lebih menonjol ketika awal abad ke-20 atau pada tahun 1916 telah dipimpin oleh pejabat lokal berpangkat panji. Distrik Sentolo yang dipimpin oleh panji tersebut membawahi 10 desa yaitu Sentolo, Bantar, Kalibondol, Soeren, Kalimenoer, Worawari, Djlegong, Salam, Kalisono, Kalikoetoek, dan Wonobroto.[9] Dengan keterangan di atas, maka Desa Sentolo dan Kalibondol telah menjadi desa administratif pada tahun 1916.  Pangreh praja tahun 1927 mengubah sejarah penting Sentolo dan Kalibondol ketika afdeling Kulon Progo membawahi delapan distrik. Dari delapan distrik tersebut, Distrik Sentolo yang memiliki 18 kelurahan[10]  kemudian menggantikan Pengasih nutuk menjadi ibu kota Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1933 sampai tahin 1951.(Ahmad Athoillah).

 



[1] Untuk masalah toponimi di Kulon Progo dapat dilihat dalam karya Ahmad Athoillah, “Mengurai Toponim Daerah Kulon Progo” dalam https://watespahpoh.net/2019/asal-usul-penamaan-geografis-di-kulon-progo.html diakses 20 Desember 2020, 23.24 WIB. Dalam keterangan Iman Budhi Santosa, hubungan tanaman dengan nama desa sangat kuat, untuk pohon Sentul (Sandoricum koetjape) dan pohon Elo (Ficus Racemosa). Lihat Iman Budhi Santosa, Suta Naya Dhadhap Waru, (Yogyakarta: Interlude, 2017), hlm. 126, 385.

[2] De Stuers, He de Java, Carte de la Partie Principale du Théâatre de la Guerre de 1825 à 1830; Gerard van Keulen, Insulae Javae pars Occidentalis Edente Hadriano Relando, (Amsterdam: De Nieuwe brug met Privilegie, 1728).

[3] Dalam pendapat Peter Carey disebutkan bahwa kaum Gladak Tuwa Buru adalah para penjinak binatang buas, terutama harimau Jawa. Mereka umumnya berasal dari Ledok (Wonosobo, Bagelen timur laut) dan daerah mancanagara lainnya. Para penduduk Jelegong (Sentolo) umumnya menjadi penjinak macan untuk kepentingan rampogan di istana Mataram. Lihat Peter Carey, The power of Prophecy: prince Dipanegara and the end of an old order in Java, 1785-1855, (Leiden: KITLV, 2008), hlm. 50, R. Wessing , “A Tiger in the hearth the Javanese rampok Macan”, Bijdragen tot de Taal-en Volkenkunde 148; 2(1992), hlm. 288.(287-308).

[4] Terdapat beberapa jalur penyeberangan yang menghubungkan barat sungai Progo-Timur (Kulon Progo) Sungai Progo (Bantul) di wilayah Sentolo seperti Dukoh (Sentolo)-Gise, Kaliwiru-Kamijoro, Kedung Pelus-Kamijoro, Kleru dan Sumur Gumuling. Lihat Peter Carey, op.cit., hlm. 50, 102; KF. Wilsen, Topographische Kaart der Residentie Djokjakarta, s’Gravenhage, t.t.

[5] Java Bode, 12 Juni 1861; Dagblad van Zuidholland en s’Gravenhage, 30 Juli 1861.

[6] Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Dipanegoro dan Akhir Tatanan lama di Jawa, 1785-1855, I-III (Jakarta: KPG & KITLV, 2012), hlm. 1089.

[7] Almanak en Naamregister (1845-1862) dan Regerings-Almanak II (1833-1933).

[8] Regerings-Almanak 1884:82.

[9] Rijksblad van Djokjakarta 1916 no.21.

[10] Almanak en Naamregister (1845-1862) dan Regerings-Almanak II (1833-1933).

 

Posting Komentar untuk "SENTOLO : PENYEBERANGAN SUNGAI PROGO DAN PUSAT PEMERINTAHAN KOLONIAL "