Gunung Kelir, saksi gugurnya Pangeran Joyokusumo dalam Perang Jawa
Perang Jawa merupakan perang terbesar yang terjadi di Jawa pada paruh pertama abad ke-19. Perang ini dipimpin oleh seorang putera tertua dari Sultan Yogya Ketiga, Pangeran Diponegoro yang tidak terima atas jatuhnya moral dan wibawa keraton oleh karena intervensi kolonial Belanda. Selain berdampak kepada sedikitnya 2 juta penduduk Jawa, perang ini juga menandai akhir tatanan lama Jawa yang kemudian akan digantikan oleh kolonialisme Hindia Belanda secara lebih tegas.
Gunung Kelir merupakan salah satu dari sekian banyak medan laga yang mempertemukan dua kekuatan besar yakni antara pasukan Diponegoro dibawah Pangeran Joyokusumo dan pasukan koalisi Belanda. Secara geografis tempat ini berada di bagian paling selatan dari pegunungan Menoreh yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kulon Progo. Adapun wilayah ini merupakan kekuasaan Kasultanan Yogyakarta pasca-Perjanjian Giyanti (1755).
Pangeran Joyokusumo sendiri adalah seorang putra Sri Sultan Hamengkubuwono II dari seorang selir yang bernama Mas Ayu Sumarsonowati yang seorang peranakan Tionghoa. Joyokusumo merupakan salah satu pejabat senior keraton yang tidak setuju dengan serangkaian perubahan wajah keraton oleh karena intevensi kolonial. Hal ini yang mendasarinya bergabung dengan keponakannya yakni Pangeran Diponegoro di Perang Jawa.
Selain menjadi komandan kavaleri, Pangeran Joyokusumo juga merupakan juru taktik penting dalam Perang Jawa di pihak Diponegoro. Ketangguhannya dalam bidang militer ini sejatinya sudah Ia tunjukan ketika invasi Inggris terhadap keraton berlangsung. Joyokusumo bersama Tumenggung Sumodiningrat– kemudian gugur dalam serangan tersebut— adalah sedikit dari beberapa pejabat senior tersisa yang dengan gigih berani mempertahankan keraton dari gempuran tentara Sepoi Inggris. Joyokusumo lah yang menahan Putera Mahkota, dan para pengikutnya termasuk Pangeran Diponegoro untuk tidak bergabung dengan Sultan di kedaton mengingat resiko yang akan ditimbulkan.
Lokasi pertempuran antara pasukan Joyokusumo dengan pasukan hulptroepen yang dipimpin oleh Resodiwiryo. Sumber peta : map.library.leiden.edu , Peta Topografi Nomor 04974-7 Tahun 1870 |
21 September 1829 merupakan waktu dimana salah satu panglima penting Diponegoro, Pangeran Bei Joyokusumo gugur di Gunung Kelir. Gugurnya Joyokusumo ini tidak lain merupakan keberhasilan dari konsolidasi pasukan koalisi Belanda yang mulai dikonsentrasikan di wilayah selatan Jawa sejak pertengahan tahun 1829. Ironisnya Joyokusumo yang meninggal bersama kedua puteranya ini kalah oleh hulptroepen (pasukan cadangan) yang dipimpin oleh seorang Jawa —yang kelak menjadi bupati pertama Purworejo dengan gelar Cokronegoro—Resodiwiryo. Selain membunuh Joyokusumo pasukan hulptroepen yang terdiri dari orang-orang Manado ini juga berhasil membunuh kedua anak Joyokusumo Pangeran Joyokusumo II dan Raden Atmokusumo.
Tensi peperangan di akhir Perang Jawa memang cukup sengit terjadi di daerah selatan Jawa. Pada bulan Juni saja pasukan koalisi Belanda dalam sebuah serangan mampu mendapatkan arsip-arsip penting. Beberapa benteng dibangun di wilayah ini bahkan salah satu bentengnya di Bubutan (Bagelen) menjadi tempat penyerahan yang kelak mediator antara Diponegoro dan Kolonel Cleerens —perwira militer yang diutus De Kock untuk mendekati Diponegoro— yakni Basah Kerto Pengalasan. Resodiwiryo, sebagai wakil komandan pasukan hulptroepen –komandan utama pasukan adalah Pangeran Kusumoyudo— pernah menyatakan bahwa akan membalas serangan yang pernah dilancarkan Pangeran Diponegoro di daerah Urutsewu dan Temon.
“Yayi Mas Ontowiryo sangakareneki Urutsewu lan Temon sing diceker, Kedhundang balak nimbuli, puyuh-puyuh sinarpadayeki, sun balang belanggur”(Danusubroto, 2008: 60-61)
Begitulah gambaran kemarahan Resodiwiryo yang ingin membalas serangan dengan tembakan meriam sekalipun karena wilayahnya telah diobrak-abrik oleh kawan seperguruannya.
Selain kepiawaian pasukan cadangan pribumi ini dalam menggalakan sebuah serangan, faktor keberhasilan lainnya dalam upaya menundukan Pangeran Diponegoro adalah dengan menerapkan taktik benteng stelsel. Adapun benteng ini sebagian besar dibangun secara sederhana dengan menggunakan pagar keliling berupa batang pohon kelapa yang dilengkapi dengan semacam bastion di keempat sudutnya dan hanya dapat menampung sekitar satu pleton pasukan. Taktik benteng darurat yang digalakan oleh De Kock—diinisiasi oleh Kolonel Cochius— berhasil mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro yang hanya menyisakan front pertempuran antara Kali Progo hingga Sungai Bogowonto.
Sepeninggal Pangeran Ngabei Joyokusumo melengkapi pendegradasian kekuatan Pangeran Diponegoro –menyerahnya panglima, para loyalis dan hilangnya simpati dari rakyat— secara kolektif. Harapan terakhir Pangeran Diponegoro atas keberlangsungan perang kian sirna karena ahli siasatnya sekaligus panglima tertinggi telah gugur. Setelah kematian Joyokusumo Diponegoro dalam babadnya menceritakan tentang hidupnya yang kini hanya sendirian berjuang di tanah Jawa. Cerita tentang tragisnya kematian panglima tertingginya ini tidak berhenti disitu, atas perintah Resodiwiryo kepala Joyokusumo beserta kedua putranya dipisahkan dari badannya untuk diberikan kepada De Kock di Magelang. Ketiga kepala tersebut setelah dilimpahkan ke keraton kemudian dikuburkan ke pemakaman pengkhianat di Banyusumurup.
Di Gunung Kelir yang notabene adalah tempat peperangan sekaligus gugurnya Joyokusumo juga dibangun makam. Makam ini terletak di Dusun Sengir, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, dan berada di puncak sebuah bukit yang bernama Ndepok. Makam yang berisikan bagian tubuh Joyokusumo dan kedua putranya itu kemudian dijaga oleh juru kunci setempat.
Pangeran Ngabei Joyokusumo merupakan salah satu tokoh penting yang ada di balik kesuksesan Perang Jawa di tahun-tahun permulaannya. Gunung Kelir yang merupakan daerah pegunungan paling selatan ini menjadi saksi dimana sang putra Sultan kedua ini gugur secara tragis. Gelar pahlawan nasional sudah selayaknya didapatkan oleh Pangeran Ngabei Joyokusumo atas upayanya dalam membebaskan bangsanya dari pengaruh bangsa asing sama halnya apa yang telah diperjuangkan oleh Pangeran Diponegoro. (Arif Akbar Pradana)
Sumber Referensi
Carey, Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro(1785—1855), Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2014.
Carey, Peter, Sisi Lain Diponegro: Babad Kedung Keb dan Historiografi Perang Jawa, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017.
Danusobroto, Atas S., RAA Cokronegoro I (1837-1857): Pendiri Kabupaten Purworejo, Yogyakarta, Penerbit Gradasi, 2008.
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500—1900 Dari Emporium sampai Imperium Jilid I, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008.
This doesn’t imply the industry doesn’t face challenges shifting ahead, though. Other notable uses of 3D printing within the healthcare space are in ongoing efforts to develop printable organs for patients in need of transplants, and the printing of chemical compounds and proteins to develop new medicines. “I don’t think there’s a element made today that won’t one way or the other|by some means} be touched by 3D printing in some style or Pencil Sharpener Electric another, whether or not instantly or not directly,” stated Mark Cola, former CEO of 3D printing firm Sigma Labs. Just as a result of|as a outcome of} 3D printing is an thrilling approach to manufacture doesn’t imply it is smart for your corporation.
BalasHapus